Mencerdaskan Anak Bangsa
*Terinspirasi oleh siswa SMK Gotong
Royong kelas XII tahun 2013/2014
Khalil gibran:
orang bijak selalu berkata “ungkapkan cintamu dengan kata-kata”. Ya, kata-kata
alias bahasa merupakan alat vital manusia membedakan dirinya dengan makhluk
Tuhan lainnya bahkan juga antara manusia yang satu dengan lainnya. Melalui
bahasa, setiap kita menjadi tahu kehendak, harapan dan perasaan yang tertanam
di balik bilik batin, pun dengan bahasa, siapa pun menjadi mampu menghidangkan
kelopak-kelopak jiwanya ke hadapan sesamanya.
KELOPAK-KELOPAK JIWA
Hari
itu tepatnya tanggal 22 Agustus 2013. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.30 WIB.
Bel sekolah berbunyi pertanda mata pelajaran untuk les ke-enam akan masuk.
Waktu yang sangat membosankan bagi kebanyakan siswa. Memang tinggal dua les
lagi untuk hari itu, yaitu les pelajaran Bahasa Indonesia dan les Mengetik Naskah.
Tetapi bagi kebanyakan siswa, les terakhir seperti itu membuat mereka merasakan
rasa kantuk yang berat.
Saya, mahasiswa PPL yang baru tiba
di sekolah itu, SMK Gotong Royong untuk mengajarkan mata pelajaran Bahasa
Indonesia. Rasa haus dan letih menyerangku. Sebelumnya, mulai les pertama
hingga les yang ke-lima, saya mengajar di kelas X dan XI. Jadwal yang sangat
padat hari itu. sepertinya saya telah kehabisan suara, tenggorokanku tercekat,
keringat mengalir menganak sungai. Saya tidak peduli soal fisik yang melemah,
yang ada dipikiranku saat itu adalah saya bisa mengajarkan materi Bahasa
Indonesia dengan baik sehingga tidak ada satu pun diantara mereka yang tidak
memberi perhatian atau tidur saat mata pelajaran berlangsung. Saya tidak ingin
suara saya menjadi pengantar tidur nyenyak mereka. Saya tidak ingin mengabaikan
satu pun, saya ingin semuanya ikut berpartisipasi aktif, saya ingin semuanya
menyimak dan mendengarkan, saya ingin semuanya mampu berbicara dengan Bahasa
Indonesia yang baik dan benar, mampu berbicara dengan santun saat mengungkapkan
pendapatnya, saya ingin semuanya rajin membaca sehingga mereka memiliki ilmu
dan berwawasan luas yang kelak akan bermanfaat bagi masa depan mereka dan
negara, saya ingin semuanya mampu menulis sehingga mereka menghasilkan karya yang
bisa dinikmati orang banyak sebagai wujud nyata dari ide-ide brilian mereka.
Mereka masih sangat muda, saya tahu bahwa mereka punya bakat dan keinginan
menjadi orang yang lebih baik dari waktu ke waktu.
Saya, guru yang masih baru akan
segera mengajar di kelas XII. Lonceng sudah berbunyi sekitar 4 menit yang lalu,
saya memasuki ruangan kelas. Timbul perasaan heran di dalam batinku ketika yang
ada di dalam kelas hanya 4 orang siswa saja. “Apa mungkin yang hadir hari ini
hanya mereka berempat?”
“Yang lain di mana, Nak?” tanya saya
karena yakin bahwa siswa lainnya masih berada di luar ruangan kelas.
Salah satu dari mereka menjawab
bahwa teman-temannya yang lain masih berada di luar ruangan kelas. Hal ini
memang kelihatan sangat berbeda dengan saat saya masih duduk di bangku SMA N 1
Lumban Julu. Mendengar bunyi lonceng masuk, kami segera memasuki ruangan kelas
karena tsayat terlambat. Hukuman yang didapat tidak tanggung-tanggung. Kami
tidak diperbolehkan masuk lagi ke dalam ruangan kelas selama mata pelajaran
berlangsung dan kalaupun kami diperbolehkan masuk, caci dan maki yang membakar
telinga sudah kami dapatkan sebelumnya.
Itu hari pertama. Seharusnya itu
menjadi hari yang menyenangkan antara saya dan siswsaya. Begitulah harapanku. Saya
masuk ke dalam ruangan kelas dan duduk di kursi menunggu kehadiran siswa
lainnya.
Seharusnya yang hadir hari itu berjumlah
11 orang, yang terdiri dari 9 siswa putra dan 2 siswa putri. Itu artinya saya
harus menunggu 7 orang siswa lagi. Kuperhatikan satu per satu wajah mereka,
wajah-wajah itu dikenal sebagai manusia tidak punya sopan santun, wajah-wajah
itu dikenal sebagai manusia pemberontak, wajah-wajah itu dikenal sebagai
manusia pelawan, wajah-wajah itu dikenal sebagai manusia tidak kenal disiplin.
Selalu melanggar peraturan tata tertib sekolah. Satu hari sebelumnya sampai
hari ini, saya melihat mereka menggunakan kaus kaki berwarna hitam yang
seharusnya diwajibkan menggunakan kaus kaki berwarna putih, seragam sekolah
yang urak-urakan dan dikeluarkan dari dalam lingkar pinggang celana, menggunakan topi di dalam ruangan kelas,
mengangkat kaki saat duduk di kursi, tidur saat mata pelajaran sekolah
berlangsung, serta punya absen yang banyak.
11 orang kini sudah berada di dalam
ruangan kelas. Kembali kutatap mereka satu per satu dan mereka juga menatapku.
Kucoba untuk selalu berpikiran positif, mereka semua pasti memiliki sisi
positif, memiliki keunggulan dan memiliki bakat.
Saya memperkenalkan diri dengan
menyebut nama, asal daerah, kemudian akan mengajar apa di kelas mereka.
Kemudian mereka memperkenalkan diri mereka dengan menyebutkan nama, hobby dan
cita-cita. Awalnya, mereka enggan menyebutkan cita-citanya dan saya meyakinkan
mereka bahwa cita-cita itu harus dibanggakan sekalipun kita belum meraihnya
saat ini, sekalipun kelihatannya cita-cita itu sulit digapai karena cita-cita
itu sama seperti harapan. Manusia hidup dengan harapan, tanpa harapan sama
artinya dengan mati.
Ada yang bercita-cita jadi
pengusaha, dokter, penyanyi, penari, polisi dan tentara. Saya bangga dengan
cita-cita yang mereka harapkan kelak di masa depan itu. Jika jadi pengusaha,
jadilah pengusaha yang bermanfaat bagi orang banyak dan negara dengan melayani
dan membantu orang-orang melalui usahanya. Jika jadi dokter, jadilah dokter
yang bermanfaat bagi orang banyak dan negara dengan menyembuhkan
pasien-pasiennya melalui pengobatannya. Jika jadi penyanyi, jadilah penyanyi
yang bermanfaat bagi orang banyak dan negara dengan menghibur orang-orang yang
galau hatinya melalui nyanyiannya. Jika jadi penari, jadilah penari yang
bermanfaat bagi orang banyak dan negara dengan melestarikan budaya lokal melalui
tariannya. Jika jadi polisi, jadilah polisi yang bermanfaat bagi orang banyak
dan negara dengan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat melalui jabatannya
sebagai polisi. Jika jadi tentara, jadilah tentara yang bermanfaat bagi orang
banyak dan negara dengan menjaga keutuhan wilayah NKRI melalui jabatannya
sebagai tentara.
Materi bahasa Indonesia hari itu
mengenai Puisi. Puisi menggunakan pilihan kata yang cermat dan indah. Tema
puisi ada beberapa macam, yaitu: tema kepahlawanan, tema keTuhanan, tema politik,
tema kemanusiaan. Puisi merupakan ungkapan perasaan secara tulus dalam bentuk
tulisan. Jika mereka menulis puisi atau memaknai isi puisi yang ditulis orang
lain, mereka harus peka terhadap perasaan. Saya ingin mereka kreatif dalam
menulis.
“Apa itu puisi?” tanya saya
mengawali perbincangan
Tidak ada yang menjawab. Mereka
sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ada yang bercerita dan ada yang bermain
dengan Handphone-nya. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Hari itu adalah hari
pertama kali saya mengajar. Apa yang harus kuperbuat?
Terbersit
di pikiranku tentang cinta. Masa-masa saat duduk di bangku sekolah tingkat SMK
pasti tertarik dengan tema cinta dan saya juga penasaran apa pendapat mereka
tentang cinta.
“Materi hari ini seputar cinta,
siapa yang tidak kenal cinta? Semua orang kenal cinta,bukan?” tanysaya
mendorong peran aktif mereka.
“Kenal bu!” ucap mereka dengan
semangat. Keduali dengan dua orang siswa putra duduk di bangku paling belakang
diam tetapi memandang ke arahku. Mereka berdua mendengarkan apa yang kuucapkan,
hanya saja mungkin mereka berdua tidak terbiasa menjawab pertanyaan dari guru.
“Semua orang menyukai cinta kan?
Atau adakah di sini yang tidak menyukai cinta?” tanysaya menggali lebih dalam.
“Semua orang menyukai cinta-lah bu! Saya
menyukai cinta” jawab Asrul Reza dengan sikap optimis. Reza, terkadang apa yang
kita sukai belum tentu disukai orang lainkan?.
Tiba-tiba ada seorang siswa putri
yang mengacungkan tangannya dengan perlahan. Tampak sikap keraguan di raut
wajahnya. Saya mendekati kursinya, kemudian bertanya dengan nada memastikan
bahwa dia punya pemikiran kontra “kamu tidak menyukai cinta, Selly?”
Sikap ragu-ragu antara mengatakannya
atau tidak menyerang pikirannya. Dengan pelan dia katakan “saya tidak menyukai
cinta....”
“Alasannya...?” selidikku
“Tidak ada alasan” jawabnya singkat
“Tidak mungkin tidak ada alasan! Kau
katakan itukan pasti ada alasannya!” ucap Reza dengan gusar. Mungkin dia kesal
karena cinta yang membuat insan manusia hidup dan berwarna bahkan tidak disukai
oleh Selly.
Kembali kutanyakan alasannya tidak
menyukai cinta tetapi selly tetap tidak ingin memberitahukannya. Untuk
menghindari perseteruan, kualihkan pertanyaan seputar cinta kepada siswa
lainnya.
Jawaban mereka cukup mengejutkanku.
Apa yang orang lain sebut selama ini ternyata salah. Mereka siswa yang bisa
diajak kerja sama, mereka siswa yang kreatif, mereka siswa yang pemberani.
Setidaknya, mereka bisa menggunakan rangkaian kata-kata sendiri untuk
mengungkapkan apa yang mereka rasakan tentang cinta. Ini awal yang bagus.
“Cinta itu universal. Cinta itu seperi cinta orang
tua kepada anaknya, cinta antar sahabat, cinta kakak kepada adiknya, cinta
antar sesama manusia. Kita tidak akan bisa hidup tanpa adanya cinta” Asrul reza
“Cinta membuat hidup lebih berwarna, menyenangkan
dan hidup” M. Hidayat
“Cinta
itu abstrak. Tidak bisa disentuh, tidak ada wujudnya” Haris
munandar
“Cinta itu matre. Harus ada uang, sepeda motor harus
dengan merk bagus, harus naik garuda” Selamet
“Cinta itu persahabatan” Ermawati
“Cinta itu sederhana. Cinta harus berani
mengatakannya. Cinta apa adanya, bersikap tulus” Selly
“Cinta itu menyenangkan” Waldiyanto
“Cinta membuat hidup
lebih berwarna” Pardamenta
“Cinta
memberikan kegembiraan” Mesa
ardian
“Cinta adalah perasaan yang membuat hidup menjadi
indah. Terkadang cinta membuat sedih tetapi cinta yang sesungguhnya adalah
saling melengkapi, menerima kekurangan orang yang kita cintai” Randa
Saya
puas dengan jawaban kreatif mereka. Pendapat mereka yang beragam harus
dihargai. Mungkin ada yang hidupnya dibangkitkan oleh cinta, ada pula yang
hidupnya disengsarakan oleh cinta. Tetapi apapun itu, cinta akan mendewasakan
mereka dan hakikatnya, cinta sejati tidak akan pernah sia-sia. Saat itu mereka
belum tahu, waktu akan mengajari mereka tentang arti cinta yang sesungguhnya. Saya
yakin itu.
Kemudian, saya menjelaskan tentang
diksi/pilihan kata dari puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Saya Ingin”.
Membahas larik yang menuliskan“kayu
kepada api yang menjadikannya abu” dan larik berikutnya yang menuliskan “awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada”. Setidaknya ada 4 pendapat mengenai tema
puisi tersebut;
“Cinta apa adanya” Selly
“Cinta yang sengsara oleh karena
adanya pihak ke-tiga” Selamet
“Cinta yang penuh pengorbanan” jawab Reza dengan optimis.
“Cinta tidak tersampaikan” Randa
Saat saya menyatakan bahwa jawaban
Reza dan Randa-lah yang paling tepat, Selamet menolaknya, tidak setuju.
“Itu diskriminasi bu! Benar di dalam
puisi tersebut ada pihak ke-tiga yang menghancurkan cinta si ‘Saya’ dan
kekasihnya” Selamet memberikan alasannya bahwa hujan dapat memadamkan api.
Pihak ketiga itulah hujan.
Saya tersenyum. Dia mampu
mengungkapkan apa yang ada dipikirannya, itu artinya langkah awal menuju sikap
kritis yang baik. Salah satu karakter
yang diharapkan didapat dari proses pembelajaran. Kutanggapi dengan singkat dan
sejelas mungkin karena waktu untuk mata pelajaran ini tinggal beberapa menit
lagi.
“Bagaimana perasaan anda ketika anda jatuh
cinta kepada seseorang, tetapi anda tidak pernah mengatakannya atau tidak
pernah sanggup menyatakan. Anda melsayakan apapun untuknya tetapi anda tidak
pernah mengatakan cinta. Pasti anda akan begitu menderitakan?” terangku menjelaskan
tentang unsur feeling yang membentuk sebuah puisi sambil mengarah ke papan
tulis menunjukkan larik puisi itu.
Terdengar bisikan dengan nada heran
“Anda?”
Saya tersadar. Mereka tidak pernah
mendengar sebutan “anda” dari gurunya saat mengajar di depan kelas. Saya salah.
Saya harus minta maaf.
Saya membalikkan badan. Bergerak
perlahan mengarah ke hadapan mereka. Saya berdiri dan mereka duduk manis
memperhatikanku. Saya menarik nafas panjang.
“Maafkan ibu ya nak? Tadi ibu
menyebut kalian dengan sebutan anda. Kebiasaan saat presentasi di kampus. Ibu
minta maaf ya?”
“Tidak apa-apa bu. Supaya kelihatan
akrab” ucap Selamet dengan wajah yang tulus.
“Akrab bukan berarti ibu harus
memanggil kalian dengan sebutan’anda’. Seorang ibu kepada anak-anaknya juga
bisa akrab dan mengerti perasaan satu sama lain. Lain kali ibu akan berusaha
untuk selalu menyebut kalian dengan “Nak”. Ok!”
Saya memberikan PR dan mereka
semangat. Respon yang mengejutkan mengingat pandangan orang lain terhadap
mereka yang begitu buruk. Mereka semua senyum dengan tulus. Dua orang tadi
tetap diam sejak tadi di bangku paling belakang, tetapi saya tetap dapat melihat
ketulusan di sana. Tidak terasa, les mata pelajaran yang kubawakan sudah habis.
Sebelum melangkah ke luar kelas, saya memandangi kembali wajah mereka. Ada
sesuatu yang sepertinya sudah tidak asing lagi bagiku. Dedaunan melambai-lambai
seakan-akan menyeretku ke masa 3 tahun silam. Wajah-wajah mereka. Saya melihat
wajahku di sana.
Banyak orang di luar sana sibuk
mencari cinta. Mereka mengejar-ngejar cinta hingga lelah, letih, dan tidak
berdaya. Mereka mencari cinta hingga ke ujung dunia. Mereka tidak menyadari
bahwa cinta ada di sekitar mereka. Cinta begitu dekat dengan diri mereka. Cinta
berlimpahan di hadapan mereka. Seperti yang saya rasakan saat ini, saya bisa
rasakan ada begitu banyak cinta di sini. Cinta yang menyenangkan, cinta yang
membuat hidup lebih berwarna, cinta yang universal, cinta yang memaafkan
kesalahan orang yang kita cintai, cinta yang menjadikan akrab, cinta yang
menerima kekurangan orang lain, cinta yang bisa diajak kerja sama. Semua
limpahan cinta itu ada di sini. Di dalam ruangan kelas SMK Gotong Royong kelas
XII. Saya menyebut mereka “Sang Pemimpi”. Terima kasih untuk cinta kalian.
Komentar
Posting Komentar